Ah, sudah lama aku gak buat cerpen. Dan sekarang, aku kembali membuat cerpen lagi~ >< Haha, thanks to Kiki-chan yang sudah minta tolong ke aku buat bantuin bikin cerpen tema persahabatan, jadi semangatku membuat cerpen/FF bangkit lagi~! ^^ Sebenarnya masih banyak FF & Cerpen lain yang kubuat selain yang ini. Tapi... entahlah, aku lagi males posting~ u,u Kapan-kapan deh, aku posting~ >w^
Oh iya, FF ini terinspirasi dari kisah nyata. Bahkan sebagian besar adegan pernah kualami bersama para sahabatku tersayang. Wkwk :'v Sebenarnya aku jarang sekali menggunakan nama western sebagai tokoh dalam ceritaku. Jadi, yah, cerpen ini agak menjurus ke FF karena aku make nama para idol disana, wkwk. Terus, anggep aja mereka semua disini seumuran dan masih pada sekolah ya~ XD
Okelah mending langsung baca aja. Maklumi saja kalau FFnya masih kurang bagus, soalnya ini bikinnya ngebut. Cuman 3 jam, sudah termasuk masak+ makan siang dan sholat ashar~ >< Jangan lupa kritik dan sarannya ya~ '-')/
Matahari memancarkan sinarnya dengan hangat, tak begitu terik. Udara pagi pun masih sejuk terasa, menyapa tiap-tiap yang dilewatinya. Burung-burung berkicau diantara hijau pepohonan menghasilkan simfoni indah yang menyertai semangat pagi. Pagi itu, tak seperti biasanya, Amy sudah terlihat tengah berjalan menuju kelasnya. Biasanya, gadis tomboy itu datang agak lebih siang walaupun rumahnya terbilang cukup dekat dengan sekolahnya.
Oh iya, FF ini terinspirasi dari kisah nyata. Bahkan sebagian besar adegan pernah kualami bersama para sahabatku tersayang. Wkwk :'v Sebenarnya aku jarang sekali menggunakan nama western sebagai tokoh dalam ceritaku. Jadi, yah, cerpen ini agak menjurus ke FF karena aku make nama para idol disana, wkwk. Terus, anggep aja mereka semua disini seumuran dan masih pada sekolah ya~ XD
Okelah mending langsung baca aja. Maklumi saja kalau FFnya masih kurang bagus, soalnya ini bikinnya ngebut. Cuman 3 jam, sudah termasuk masak
***
Tittle : Bond of Friendship
Cast :
- Lee Yejin / Amy Lee a.k.a Ailee
- Song Juhee a.k.a Hello Venus' Alice
- Bae Joohyun a.k.a Red Velvet's Irene
- Shannon Arrum Williams
- Cheon Jaein a.k.a The Ark's Jane
- Mark Yi-En Tuan a.k.a GOT7's Mark
- Wu Yi Fan a.k.a Kris
- Woo Sunghyun a.k.a U-Kiss' Kevin
- Jang Hanbyul a.k.a LED Apple's Jason
- Kim Hyun-il a.k.a C-Clown's Ray
- Eric Nam
- Ahn Hyojin a.k.a EXID's LE (Elly)
- Jennie Kim a.k.a Pink Punk's Jennie
- Hong Jisoo a.k.a Seventeen's Joshua
- Lee Byunghun a.k.a Teen Top's L.Joe
Matahari memancarkan sinarnya dengan hangat, tak begitu terik. Udara pagi pun masih sejuk terasa, menyapa tiap-tiap yang dilewatinya. Burung-burung berkicau diantara hijau pepohonan menghasilkan simfoni indah yang menyertai semangat pagi. Pagi itu, tak seperti biasanya, Amy sudah terlihat tengah berjalan menuju kelasnya. Biasanya, gadis tomboy itu datang agak lebih siang walaupun rumahnya terbilang cukup dekat dengan sekolahnya.
“AMYYYYYY !” teriakan itu tiba-tiba terdengar
ketika Shannon, sahabat Amy menangkap sosoknya dari kejauhan seraya melambaikan
tangannya. Amy yang merasa terpanggil lantas tersenyum dan mempercepat
langkahnya. Amy memang tersenyum mendengar teriakan itu, namun tidak dengan
gadis lain yang ada di sebelah kanan Shannon. Gadis itu, Jane, membulatkan
matanya kesal atas tingkah Shannon.
“Kalau ingin berteriak jangan
dekat-dekat telinga orang lain. Lama-lama aku bisa tuli jika kau terus berteriak”
ujar Jane kesal dengan tangan masih menutupi telinganya.
Shannon yang ditegur hanya
menatap Jane lalu memamerkan cengiran lebarnya. Sedangkan gadis yang ada
disebelah kiri Jane, Alice hanya terkekeh melihat kelakuan dua temannya. Ia
sudah biasa menyaksikan pemandangan seperti ini. Tak perlu khawatir, walaupun
sering terlibat pertengkaran-pertengkaran kecil, Shannon dan Jane tak butuh
waktu lama untuk kembali berbaikan.
Amy telah sampai di hadapan para
sahabatnya. Nafasnya agak memburu karena ia sebelumnya sedikit berlari, namun
senyum tetap tak lepas dari wajahnya. Ia memang merasa sedikit lelah, namun ia
tetap bahagia karena masih dapat berjumpa dengan para sahabat dekatnya.
“Hey. Tumben datang pagi.
Biasanya kau datang sesaat sebelum gerbang ditutup”, gurau Alice seraya
merangkul pundak Amy.
Amy menyingkirkan tangan Alice
dari pundaknya. “Entahlah, hanya sedang ingin datang pagi saja”, jawabnya acuh
tak acuh. “Omong-omong, mana Irene ?” tanyanya seraya mengedarkan pandangannya
mencari sosok bernama Irene
“Ada di dalam kelas, belajar
bersama Mark” jawab Shannon seraya mengarahkan telunjuknya ke dalam kelas.
“Ah, begitu rupanya” Amy
menganggukkan kepalanya tanda mengerti. “Kalian tidak ikut belajar ?” tanya Amy
seraya menaikkan sebelah alisnya.
“Kami menunggumu. Penjelasanmu
jauh lebih mudah dipahami dibandingkan penjelasan Mark” jelas Alice yang
kemudian disambut dengan anggukan kepala Jane dan Shannon.
“Eh ? Jadi kalian minta aku yang
mengajari ?” selidik Amy.
“Begitulah. Lagipula, kau pandai
dalam Sains. Jadi apa salahnya mengajari kami ? Kau mau ‘kan ?” pinta Alice
dengan mata berbinar-binar.
“Tsk, nilai ujian Sains-mu
minggu lalu bahkan lebih tinggi dariku, Lice” decak Amy.
“Ayolah, Amy. Kita ini ‘kan
teman, sudah seharusnya kita saling membantu” kini Shannon yang angkat suara
seraya menampakkan wajah memelasnya berusaha membujuk Amy.
Amy memutar bola matanya lalu
menghela nafas panjang. “Baiklah, aku akan menaruh tasku dulu. Setelah itu kita
belajar bersama” ujar Amy dengan senyum tipisnya.
“Oke. Kita belajar di taman
belakang dan ajak yang lainnya juga. Aku akan mengambil bukuku terlebih dahulu”
ujar Jane bersemangat dan bersiap untuk melangkah pergi. Namun, lengannya
ditahan oleh Amy. Sedangkan Alice dan Shannon telah lenyap entah kemana
–mungkin mengambil buku pelajaran mereka seperti yang dikatakan Jane
sebelumnya.
“Taman belakang sekolah ? Tidak takut kalau nanti
kita terlalu asyik sampai tak mendengar bel masuk ?” tanya Amy heran.
“Ah, iya ! Aku lupa memberitahumu tadi malam. Hari
ini para guru kelas tiga mengadakan rapat dan sekaligus membuat soal untuk uji
coba ujian akhir kita nanti. Ada gosip yang mengatakan sebenarnya hari ini kita
diliburkan. Tapi entahlah, aku tak begitu yakin, jadi aku memilih masuk hari
ini. Toh, kalaupun hari ini ternyata
belajar seperti biasanya dan nanti kita terambat masuk kelas, itu ‘kan karena
kita belajar bersama. Para guru pasti akan memberi toleransi” jelas Jane panjang
lebar yang kemudian hanya dibalas dengan ‘Oh’ oleh Amy.
“Kalau begitu sampai jumpa di taman. Jangan terlambat.
Aku tak suka menunggu. Bye” pungkas
Jane cepat lalu berlari menuju kelasnya mengambil beberapa buku pelajaran.
Begitupun Amy yang segera menuju kelasnya agar tak terlambat sampai di taman.
Ia tahu benar Jane sangat benci menunggu. Bisa-bisa ia mendapat siraman rohani
mendadak dari Jane.
Beberapa bulan belakangan ini, belajar
bersama memang rutinitas mereka. Para sahabat ini berusaha keras agar bisa
mencapai nilai yang baik pada ujian akhir tahun ini. Sesekali mereka hang out bersama untuk refreshing, walaupun sebenarnya mereka
tak benar-benar perlu refreshing.
Tengok saja cara belajar mereka, penuh canda-tawa namun tetap tak mengabaikan
poin-poin penting dari yang mereka pelajari.
***
Mereka semua kini telah
berkumpul di sebuah tempat dengan lingkungan yang asri –taman belakang sekolah
dengan membuka bukunya masing-masing. Tidak semua sebenarnya, karena Mark dan
Alice sama sekali tidak membawa buku mereka. Justru mereka menumpang buku orang
lain, Alice kepada Shannon, dan Mark kepada Irene.
“Ah, aku lapar” keluh Alice
tiba-tiba. Ia kemudian menatap sekelilingnya dan menemukan tatapan tajam dari mata
para sahabatnya mengarah kepadanya. Alice memperbaiki posisi duduknya lalu
balas menatap mereka dengan tatapan heran.
“Apanya yang salah dari ucapanku
?” tanyanya menuntut.
“Tidak ada. Hanya memastikan saja,
apakah kau benar-benar lapar atau hanya ingin kabur dari deretan angka-angka
itu” ujar Kevin lalu terkekeh pelan.
“Yah, kedua hipotesamu benar
sebenar-benarnya” ujar Alice seraya menutup buku Fisikanya. Ia kemudian berdiri.
“Ada yang ikut denganku ?” tanyanya sembari menatap orang-orang yang ada
disana.
“Aku ikut” jawab Jane seraya
berdiri.
“Aku juga, deh” Mark ikut
berdiri.
“Kalau begitu aku juga ikut” Amy
menyahut dan ikut berdiri. Begitupun Jason dan Kris.
“H-hey. Kita disini untuk
belajar ‘kan ?” interupsi Shannon ketika satu persatu dari mereka mulai berdiri.
“Ayolah, Shan. Kau belajar
terlalu keras. Uji coba sebelumnya penyakit maag
mu kambuh karena lupa makan” Irene angkat bicara.
“Tapi...”
Belum sempat Shannon melanjutkan
kalimatnya. Amy menyela “Ayo makan dulu. Setelah ini kita belajar lagi, aku tak
mau kau melupakan kesehatanmu karena sibuk belajar” ujarnya seraya menutup buku
Shannon dan menyingkirkannya ke pinggir bersama buku-buku lainnya.
“Baiklah...” pasrah Shannon lalu
berdiri dengan sedikit tarikan di tangan dari Alice.
Merekapun berjalan menuju cafetaria dengan tak lupa melayangkan
beberapa lelucon yang menyebabkan gelak tawa lepas dari bibir mereka. Mereka
benar-benar ramai. Selain karena memang suka bercanda, anggota mereka banyak ! Amy,
Alice, Irene, Shannon, Jane, Kevin, Jason, Mark dan Kris. Total ada sembilan
orang. Belum lagi jika ditambah Ray dan Eric. Beruntung, saat ini mereka sedang
mengajari junior yang akan mengikuti olimpiade matematika –yah, mereka memang
sangat pintar. Jika tidak, mungkin gerombolan ini akan lebih ramai lagi.
“Hey ! Kalian mau ke cafetaria ?” suara seorang gadis menginterupsi
candaan mereka. Orang-orang yang berada di gerombolan itu serentak berhenti
bercanda dan menoleh ke belakang. Dihadapan mereka kini berdiri Jennie, Elly, Joshua
dan Joe.
“Ah, iya. Mau ikut bersama kami
?” tawar Amy kepada gadis yang bertanya tadi, Jennie.
“Tentu” sahut Joe seraya
bergabung dengan Amy dan teman-temannya. Begitupun Jennie, Elly dan Joshua.
Walaupun sering bersama, Amy dan
sahabat-sahabatnya tetap bersifat terbuka terhadap murid lain. Itulah yang
menyebabkan mereka tak mendapat kebencian walaupun kadang terlihat seperti
sebuah geng. Setibanya mereka di depan cafetaria, terlihat beberapa junior
menyingkir memberi jalan kepada mereka –karena jumlah anggota mereka yang
banyak dan semakin banyak karena bergabungnya Jennie dan teman-temannya. Joshua
yang paling depan merasa agak tidak enak terhadap para juniornya.
“Jangan segan. Kami hanya akan
memesan beberapa makanan dan minuman lalu pergi” ujar Joshua seraya tersenyum
dan melambaikan tangannya kepada para juniornya.
“Don’t flirting, Josh” sentak Elly seraya meninju bahu Joshua dengan
keras.
“Ah, itu sakit, El !” Joshua
meringis seraya mengusap-usap bahunya dengan ekspresi berlebihan.
“Berlebihan sekali” desis Kris
lalu berjalan melewati Joshua yang masih meringis kesakitan akibat tinjuan Elly
tadi.
“H-hey ! Tunggu aku !” teriak
Joshua begitu menyadari bahwa anak-anak yang lain telah berjalan melewatinya
ketika ia terlalu sibuk dengan bahunya yang sakit. Ia pun segera mengejar
gerombolan anak-anak itu.
Kini mereka semua telah memesan
makanan dan duduk di sebuah meja panjang dengan tujuh kursi di kedua sisinya,
kecuali Joshua dan Alice. Mereka berdua masih megantri untuk memesan makanan.
“Biar aku yang bayar” ucap
Joshua seraya menahan lengan Alice yang hendak membayar pesanannya. Ia langsung
mengambil dompetnya lalu membayar sebelum Alice sempat membuka mulutnya untuk
menolaknya.
“Ayo, Lice. Teman yang lain
sudah menunggu. Kau juga menghambat antrian” tegur Joshua pada Alice yang masih
terdiam atas perlakuan Joshua. Alice langsung tersadar dan menyusul Joshua yang
sudah berada agak jauh di depannya
“Apa maumu sekarang ?” cecar
Alice sambil menaruh mangkuk supnya dan duduk dihadapan Joshua.
“Apa maksudmu ? Aku bahkan baru
tiba disini” balas Joshua heran.
“Kau mentraktirku pasti ada
maunya ‘kan ?” tanya Alice penuh selidik.
Joshua memamerkan cengirannya.
“Kau memang yang paling mengerti aku, Lice. Baiklah, sebenarnya aku ingin minta
diajari Matematika. Ada beberapa materi yang tak aku mengerti” kata Joshua
jujur.
“Kalau begitu datang saja ke
taman belakang sehabis makan, aku dan anak-anak lain belajar disana” jawab
Alice lalu menyuapkan sesendok sup ke dalam mulutnya.
“Eh ? Benarkah ? Kalau begitu,
aku juga mau ikut. Boleh ‘kan ?” tanya Joe antusias.
“Tentu” jawab Alice seraya
tersenyum lebar.
***
Tak terasa, waktu berlalu begitu
cepat. Ujian akhir telah mereka lalui, tetapi hasil ujian akhir masih belum
keluar. Kini Amy, Jane, Shannon dan Irene tengah berkumpul di sebuah coffee shop. Mereka tengah menunggu
Alice yang masih belum nampak batang hidungnya.
“Maaf aku terlambat. Tadi sepatuku hilang” ujar
seorang gadis dengan nafas terengah-engah yang baru saja menghampiri mereka. Keringat
mengaliri pelipisnya. Mungkin sebelumnya gadis itu berlari menuju coffee shop ini. Alice mendudukkan
dirinya di kursi yang masih kosong sambil mengatur nafasnya.
“Bagaimana bisa ?” tanya Irene tak percaya. Alice
jarang sekali kehilangan barang-barang. Terlebih lagi benda yang hilang kali
ini adalah sepatu.
“Entahlah” ujar Alice acuh lalu mengambil botol air
dingin milik Shannon dan meminumnya.
“Tapi sekarang sudah ketemu ‘kan ?” tanya Shannon
memastikan.
Alice memutar bola matanya sembari meletakkan
botol minuman Shannon. “Jika masih hilang, apa yang kupakai di kakiku ini ?”
ujar Alice kesal seraya menunjuk bagian bawah kakinya yang memperlihatkan bahwa
ia tengah mengenakan sneakers birunya.
“Sudah-sudah. Cukup masalah sepatu. Jadi, kita
disini untuk membicarakan tentang Amy” tukas Jane cepat. Semua mata kini
tertuju pada Amy.
“Ada apa ?” tanya Irene.
“Aku... tak diperbolehkan melanjutkan sekolah oleh
ibuku” lirih Amy.
“A-apa ?! Kenapa ?!” tanya Alice dengan nada
terkejut.
“Kemarin sore ada surat cinta yang sampai di
rumahku. Dan sialnya ibuku yang menerimanya. Ibuku marah dan melarangku
sekolah. Ia salah paham berfikir aku berpacaran bukannya belajar di sekolah.
Padahal aku sama sekali tak mengenal Rome, si pengirim surat. Aku... tak tahu
apa yang harus kulakukan sekarang” lirihnya.
“Ja-jadi ?” kini Shannon yang angkat bicara dengan
nada bergetar.
Amy menghela nafas panjang. “Entahlah. Aku tak
tahu. Ibuku masih mendiamkanku sampai pagi ini” ucapnya lirih seraya menatap
langit-langit.
“Sial ! Kalau sampai kutemukan seseorang bernama
Rome itu, akan kuhabisi dia !” geram Alice dengan tangan terkepal. Sangat jelas
terlihat ia sedang menahan amarah.
Amy terlihat mengambil sesuatu di tasnya. Sebuah
surat. “Ini suratnya kalau kalian mau membaca” ujarnya seraya menyodorkan surat
itu kehadapan Alice, Irene dan Shannon. Mereka bertiga pun berebut untuk
membaca surat itu.
Irene dan Shannon seketika memeluk Amy begitu
membaca sepintas isi surat tersebut. Sedangkan Alice masih terdiam menatap
surat itu.
‘Eh ? Bukannya ini ini logo sekolah elit itu ? Sekolah
yang diimpikan Amy ? Apa Amy salah membawa surat ?’ pikir Alice seraya
membolak-balik surat tersebut. Ia masih belum menemukan apa yang membuat kedua
sahabatnya langsung memeluk Amy. Sedetik kemudian ia menyadari sesuatu.
“Astaga ! Jadi kau mengerjai kami ?!” seru Alice
dengan mata berkaca-kaca. Bukan sedih, melainkan haru karena sahabatnya, Amy
berhasil mendapatkan beasiswa dari sekolah impiannya. Beberapa bulan lalu, Amy
memang mengikuti program beasiswa di sekolah elit itu. Surat yang dibawanya
kali ini adalah surat pernyataan bahwa Amy lolos tes dan berhasil diterima
disana.
“Aku bangga padamu, Amy” lirih Alice seraya
memeluk Amy.
Amy menepuk punggung Alice. “Maaf aku
membohongimu. Aku tak mau hanya aku yang dikerjai oleh ibuku, jadi kupikir aku
bisa mengerjai kalian dengan bekerja sama dengan Jane” ujarnya seraya terkekeh.
Amy melepaskan pelukannya lalu menghapus air mata
Alice. Ia kemudian menatap sahabat-sahabatnya. “Baiklah, untuk merayakan ini.
Aku akan mentraktir kalian cheesecake.
Setuju ?” tawar Amy dengan senyum lebar.
“SETUJU !!!” seru
keempat sahabatnya. Mereka lalu tertawa bersama, terlalu bahagia atas
yang terjadi hari ini.
***
Waktu berlalu. Mereka semua kini telah berhasil
mencapai sekolah impiannya masing-masing. Namun, itu sama sekali tak mengurangi
intensitas persahabatan mereka.
Memang benar, ikatan persahabatan mereka sangat
kuat. Tetapi jika ada yang berfikir mereka tak pernah bertengkar –disamping
pertengkaran kecil seperti yang terjadi ketika Shannon berteriak, itu salah
besar. Pernah sekali Alice dan Jane saling diam tanpa menyapa satu sama lain
selama beberapa minggu. Mereka berdua memang sama-sama keras kepala. Namun
entah bagaimana awalnya, mereka tiba-tiba
berbaikan ketika bahkan tak ada satupun dari mereka yang mengucapkan
kata ‘maaf’. Berbeda dengan Amy yang mudah sekali mengucap maaf, Alice dan Jane
takkan meminta maaf jika mereka tak merasa bersalah. Namun begitulah, jika memang
ditakdirkan untuk bersama, mereka akan tetap mampu menemukan jalan mereka untuk
kembali bersatu saat mereka terpisah.
“Ah, aku rindu masa-masa kita dulu bersama” kata
Jason lalu memasukkan sekeping potato
chips ke dalam mulutnya.
Alice, Irene, Shannon, Jane, Kevin, Jason, Mark,
Joe, Elly dan Eric kini tengah berkumpul di sebuah kedai di depan sekolah
mereka. Entah kebetulan atau kesengajaan, mereka masuk di sekolah yang sama,
dan lagi-lagi mereka harus mencari meja panjang untuk berkumpul.
“Aku rindu ocehan Joshua yang sama sekali tidak
penting itu” Alice berucap dengan pandangan menerawang.
“Aku merindukan Amy dan Kris” ucap Jane seraya
mengaduk-aduk strawberry smoothienya.
“Kalau Amy, kita masih bisa datang ke rumahnya.
Kalau Kris... ah ! mengapa ia harus sekolah di luar kota, sih ?” gerutu Shannon
lalu memotong cheesecakenya kasar.
“Hey ! Kris sekolah di luar kota ‘kan untuk
kebaikannya juga” sentak Jane.
“Sudah sudah. Kalian tak lelah selalu beradu
argumen ?” lerai Elly. “Lice, kau tak berusaha menghentikan mereka ?” kini Elly
menoleh Alice yang kini tengah menyeruput sodanya.
“Hm ?” Alice menatap Elly lalu meletakkan sodanya
di meja. “Untuk tingkatan ini masih tidak perlu, mereka akan berbaikan beberapa
saat lagi. Benar ‘kan ?” kata Alice sambil menyikut lengan Irene.
“Yap. Tunggu saja” kata Irene.
“Aku ada ide !” seru Eric tiba-tiba. Semua pasang
mata –termasuk pengunjung kedai lain menatap Eric. Menyadari tatapan terganggu
dari pengunjung lain, Alice berdiri lalu membungkukkan badannya memohon maaf
atas perlakuan temannya itu.
“Ada apa ?” tanya Mark.
“Besok hari Minggu ‘kan ? Begini, kita ajak
anak-anak yang lainnya bertemu. Aku baru ingat Kris berencana pulang kemari,
sore ini dia sampai. Bagaimana ?” tanya Eric meminta pendapat teman-temannya.
“Boleh juga. Dimana kita akan bertemu ?” tanya Joe
meminta pendapat yang lain.
“Cony Cone
! Es krim disana benar-benar lezat, aku pernah mencobanya ! Setelah itu, kita
pergi ke Amusement Park, lalu ke Giant Mall, dan berakhir di sekolah lama
kita” ujar Shannon berapi-api.
“Usulmu bagus juga. Yah, hitung-hitung mengenang masa lalu” ujar Jason
lalu terkekeh.
“Baiklah. Aku akan kabari Amy, Jennie dan Ray”
kata Alice lalu mengeluarkan ponsel dari saku jeansnya.
“Yeah ! Akhirnya kita semua bisa berkumpul lagi.
Aku akan kabari Joshua dan Kris” Eric juga mengeluarkan ponselnya dan mulai
mengetikkan kata-kata untuk dikirimkan ke Joshua dan tentunya Kris.
***
Hari yang ditunggu pun tiba. Lima-belas remaja itu
menghabiskan waktu mereka dengan penuh kebahagiaan. Terlebih lagi Ray
mentraktir mereka ketika di Cony Cone
karena hari itu adalah hari ulang tahunnya. Mereka semua melepas kerinduan hari
itu juga. Memang, kemajuan zaman membuat mereka tetap bisa berkomunikasi walau
dari jarak jauh. Namun, tak ada yang lebih berkesan dibandingkan bertemu
langsung.
Sore itu mereka duduk di tepi lapangan voli sekolah
lama mereka. Gerbang sekolah memang tak ditutup karena beberapa ekstrakulikuler
seperti basket, futsal dan tari sedang dilaksanakan hari itu.
“Hari ini benar-benar luar biasa” kata Ray dengan
senyum masih terukir di wajahnya.
“Kau benar. Terlebih lagi aku bisa menghemat
pengeluaranku” sahut Jason.
Ray meninju lengan Jason pelan “Dasar kau ini”
“Ayo berjuang !” teriak Shannon tiba-tiba. Entah
sejak kapan ia telah berdiri di tengah lapangan seraya mengepalkan tangannya ke
udara.
“Shan, sedang apa kau disana ?!” teriak Jenny pada
Shannon.
“Kalian kemarilah !” bukannya menjawab Shannon
justru menyuruh semua teman-temannya menuju lapangan. Teman-temannya pun hanya
menurut. Mereka tahu benar, jika sudah seperti ini, tak ada yang bisa
menghentikan Shannon. Jikalau ada yang mau menolak, Shannon pasti akan mengoceh
panjang lebar karena merasa tidak diperdulikan. Dalam sekejap mereka semua
sudah ada di depan Shannon.
“Jadi begini, tahun lalu kita berjuang keras untuk
bisa lulus dengan hasil yang memuaskan agar bisa masuk sekolah favorit. Tahun
ini, kita harus berjuang lebih keras agar bisa mencapai perguruan tinggi impian
kita. Setuju ?” cerocos Shannon dengan gaya khasnya, bersemangat.
“Hanya itu ? Kalau itu tak perlu kau beritahu.
Sudah pasti kita lakukan. Iya kan ?” tanya Alice yang disambut oleh anggukan
teman-temannya.
“Bagus kalau begitu. Ayo kita berjuang !” seru
Shannon seraya mengepalkan tangannya ke udara lagi.
“AYOOOOO !!!!” teriak yang lainnya mengikuti gaya
Shannon.
Setelah itu hening sejenak. Tatapan para anggota
ekstrakulikuler basket kini mengarah pada mereka. Menyadari itu, mereka
serentak menurunkan tangan mereka, malu. Namun hening itu tak bertahan lama,
sedetik kemudian tawa mereka pecah menertawakan tingkah yang baru mereka
perbuat.
“Ketika beberapa orang yang memang ditakdirkan
bersama suatu hari terpisah, suka-tak-suka mereka akan tetap mampu menemukan
jalan mereka kembali entah bagaimana caranya”
-Hafizhah Salsabila-