Sabtu, 15 Agustus 2015

Bond of Friendship

Ah, sudah lama aku gak buat cerpen. Dan sekarang, aku kembali membuat cerpen lagi~ >< Haha, thanks to Kiki-chan yang sudah minta tolong ke aku buat bantuin bikin cerpen tema persahabatan, jadi semangatku membuat cerpen/FF bangkit lagi~! ^^ Sebenarnya masih banyak FF & Cerpen lain yang kubuat selain yang ini. Tapi... entahlah, aku lagi males posting~ u,u Kapan-kapan deh, aku posting~ >w^

Oh iya, FF ini terinspirasi dari kisah nyata. Bahkan sebagian besar adegan pernah kualami bersama para sahabatku tersayang. Wkwk :'v Sebenarnya aku jarang sekali menggunakan nama western sebagai tokoh dalam ceritaku. Jadi, yah, cerpen ini agak menjurus ke FF karena aku make nama para idol disana, wkwk. Terus, anggep aja mereka semua disini seumuran dan masih pada sekolah ya~ XD

Okelah mending langsung baca aja. Maklumi saja kalau FFnya masih kurang bagus, soalnya ini bikinnya ngebut. Cuman 3 jam, sudah termasuk masak makan siang dan sholat ashar~ ><  Jangan lupa kritik dan sarannya ya~ '-')/

***

Tittle : Bond of Friendship
Cast :
  1. Lee Yejin / Amy Lee a.k.a Ailee
  2. Song Juhee a.k.a Hello Venus' Alice
  3. Bae Joohyun a.k.a Red Velvet's Irene
  4. Shannon Arrum Williams
  5. Cheon Jaein a.k.a The Ark's Jane
  6. Mark Yi-En Tuan a.k.a GOT7's Mark
  7. Wu Yi Fan a.k.a Kris
  8. Woo Sunghyun a.k.a U-Kiss' Kevin
  9. Jang Hanbyul a.k.a LED Apple's Jason
  10. Kim Hyun-il a.k.a C-Clown's Ray
  11. Eric Nam
  12. Ahn Hyojin a.k.a EXID's LE (Elly)
  13. Jennie Kim a.k.a Pink Punk's Jennie
  14. Hong Jisoo a.k.a Seventeen's Joshua
  15. Lee Byunghun a.k.a Teen Top's L.Joe



                               Matahari memancarkan sinarnya dengan hangat, tak begitu terik. Udara pagi pun masih sejuk terasa, menyapa tiap-tiap yang dilewatinya. Burung-burung berkicau diantara hijau pepohonan menghasilkan simfoni indah yang menyertai semangat pagi. Pagi itu, tak seperti biasanya, Amy sudah terlihat tengah berjalan menuju kelasnya. Biasanya, gadis tomboy itu datang agak lebih siang walaupun rumahnya terbilang cukup dekat dengan sekolahnya.

“AMYYYYYY !” teriakan itu tiba-tiba terdengar ketika Shannon, sahabat Amy menangkap sosoknya dari kejauhan seraya melambaikan tangannya. Amy yang merasa terpanggil lantas tersenyum dan mempercepat langkahnya. Amy memang tersenyum mendengar teriakan itu, namun tidak dengan gadis lain yang ada di sebelah kanan Shannon. Gadis itu, Jane, membulatkan matanya kesal atas tingkah Shannon.

                “Kalau ingin berteriak jangan dekat-dekat telinga orang lain. Lama-lama aku bisa tuli jika kau terus berteriak” ujar Jane kesal dengan tangan masih menutupi telinganya.

                Shannon yang ditegur hanya menatap Jane lalu memamerkan cengiran lebarnya. Sedangkan gadis yang ada disebelah kiri Jane, Alice hanya terkekeh melihat kelakuan dua temannya. Ia sudah biasa menyaksikan pemandangan seperti ini. Tak perlu khawatir, walaupun sering terlibat pertengkaran-pertengkaran kecil, Shannon dan Jane tak butuh waktu lama untuk kembali berbaikan.

                Amy telah sampai di hadapan para sahabatnya. Nafasnya agak memburu karena ia sebelumnya sedikit berlari, namun senyum tetap tak lepas dari wajahnya. Ia memang merasa sedikit lelah, namun ia tetap bahagia karena masih dapat berjumpa dengan para sahabat dekatnya.

                “Hey. Tumben datang pagi. Biasanya kau datang sesaat sebelum gerbang ditutup”, gurau Alice seraya merangkul pundak Amy.

                Amy menyingkirkan tangan Alice dari pundaknya. “Entahlah, hanya sedang ingin datang pagi saja”, jawabnya acuh tak acuh. “Omong-omong, mana Irene ?” tanyanya seraya mengedarkan pandangannya mencari sosok bernama Irene

                “Ada di dalam kelas, belajar bersama Mark” jawab Shannon seraya mengarahkan telunjuknya ke dalam kelas.

                “Ah, begitu rupanya” Amy menganggukkan kepalanya tanda mengerti. “Kalian tidak ikut belajar ?” tanya Amy seraya menaikkan sebelah alisnya.

                “Kami menunggumu. Penjelasanmu jauh lebih mudah dipahami dibandingkan penjelasan Mark” jelas Alice yang kemudian disambut dengan anggukan kepala Jane dan Shannon.

                “Eh ? Jadi kalian minta aku yang mengajari ?” selidik Amy.

                “Begitulah. Lagipula, kau pandai dalam Sains. Jadi apa salahnya mengajari kami ? Kau mau ‘kan ?” pinta Alice dengan mata berbinar-binar.

                “Tsk, nilai ujian Sains-mu minggu lalu bahkan lebih tinggi dariku, Lice” decak Amy.

                “Ayolah, Amy. Kita ini ‘kan teman, sudah seharusnya kita saling membantu” kini Shannon yang angkat suara seraya menampakkan wajah memelasnya berusaha membujuk Amy.

                Amy memutar bola matanya lalu menghela nafas panjang. “Baiklah, aku akan menaruh tasku dulu. Setelah itu kita belajar bersama” ujar Amy dengan senyum tipisnya.

                “Oke. Kita belajar di taman belakang dan ajak yang lainnya juga. Aku akan mengambil bukuku terlebih dahulu” ujar Jane bersemangat dan bersiap untuk melangkah pergi. Namun, lengannya ditahan oleh Amy. Sedangkan Alice dan Shannon telah lenyap entah kemana –mungkin mengambil buku pelajaran mereka seperti yang dikatakan Jane sebelumnya.

“Taman belakang sekolah ? Tidak takut kalau nanti kita terlalu asyik sampai tak mendengar bel masuk ?” tanya Amy heran.

“Ah, iya ! Aku lupa memberitahumu tadi malam. Hari ini para guru kelas tiga mengadakan rapat dan sekaligus membuat soal untuk uji coba ujian akhir kita nanti. Ada gosip yang mengatakan sebenarnya hari ini kita diliburkan. Tapi entahlah, aku tak begitu yakin, jadi aku memilih masuk hari ini. Toh, kalaupun hari ini ternyata belajar seperti biasanya dan nanti kita terambat masuk kelas, itu ‘kan karena kita belajar bersama. Para guru pasti akan memberi toleransi” jelas Jane panjang lebar yang kemudian hanya dibalas dengan ‘Oh’ oleh Amy.

“Kalau begitu sampai jumpa di taman. Jangan terlambat. Aku tak suka menunggu. Bye” pungkas Jane cepat lalu berlari menuju kelasnya mengambil beberapa buku pelajaran. Begitupun Amy yang segera menuju kelasnya agar tak terlambat sampai di taman. Ia tahu benar Jane sangat benci menunggu. Bisa-bisa ia mendapat siraman rohani mendadak dari Jane.

                Beberapa bulan belakangan ini, belajar bersama memang rutinitas mereka. Para sahabat ini berusaha keras agar bisa mencapai nilai yang baik pada ujian akhir tahun ini. Sesekali mereka hang out bersama untuk refreshing, walaupun sebenarnya mereka tak benar-benar perlu refreshing. Tengok saja cara belajar mereka, penuh canda-tawa namun tetap tak mengabaikan poin-poin penting dari yang mereka pelajari.

***

                Mereka semua kini telah berkumpul di sebuah tempat dengan lingkungan yang asri –taman belakang sekolah dengan membuka bukunya masing-masing. Tidak semua sebenarnya, karena Mark dan Alice sama sekali tidak membawa buku mereka. Justru mereka menumpang buku orang lain, Alice kepada Shannon, dan Mark kepada Irene.

                “Ah, aku lapar” keluh Alice tiba-tiba. Ia kemudian menatap sekelilingnya dan menemukan tatapan tajam dari mata para sahabatnya mengarah kepadanya. Alice memperbaiki posisi duduknya lalu balas menatap mereka dengan tatapan heran.

                “Apanya yang salah dari ucapanku ?” tanyanya menuntut.

                “Tidak ada. Hanya memastikan saja, apakah kau benar-benar lapar atau hanya ingin kabur dari deretan angka-angka itu” ujar Kevin lalu terkekeh pelan.

                “Yah, kedua hipotesamu benar sebenar-benarnya” ujar Alice seraya menutup buku Fisikanya. Ia kemudian berdiri. “Ada yang ikut denganku ?” tanyanya sembari menatap orang-orang yang ada disana.

                “Aku ikut” jawab Jane seraya berdiri.

                “Aku juga, deh” Mark ikut berdiri.

                “Kalau begitu aku juga ikut” Amy menyahut dan ikut berdiri. Begitupun Jason dan Kris.

                “H-hey. Kita disini untuk belajar ‘kan ?” interupsi Shannon ketika satu persatu dari mereka  mulai berdiri.

                “Ayolah, Shan. Kau belajar terlalu keras. Uji coba sebelumnya penyakit maag mu kambuh karena lupa makan” Irene angkat bicara.

                “Tapi...”

                Belum sempat Shannon melanjutkan kalimatnya. Amy menyela “Ayo makan dulu. Setelah ini kita belajar lagi, aku tak mau kau melupakan kesehatanmu karena sibuk belajar” ujarnya seraya menutup buku Shannon dan menyingkirkannya ke pinggir bersama buku-buku lainnya.

                “Baiklah...” pasrah Shannon lalu berdiri dengan sedikit tarikan di tangan dari Alice.

                Merekapun berjalan menuju cafetaria dengan tak lupa melayangkan beberapa lelucon yang menyebabkan gelak tawa lepas dari bibir mereka. Mereka benar-benar ramai. Selain karena memang suka bercanda, anggota mereka banyak ! Amy, Alice, Irene, Shannon, Jane, Kevin, Jason, Mark dan Kris. Total ada sembilan orang. Belum lagi jika ditambah Ray dan Eric. Beruntung, saat ini mereka sedang mengajari junior yang akan mengikuti olimpiade matematika –yah, mereka memang sangat pintar. Jika tidak, mungkin gerombolan ini akan lebih ramai lagi.

                “Hey ! Kalian mau ke cafetaria ?” suara seorang gadis menginterupsi candaan mereka. Orang-orang yang berada di gerombolan itu serentak berhenti bercanda dan menoleh ke belakang. Dihadapan mereka kini berdiri Jennie, Elly, Joshua dan Joe.

                “Ah, iya. Mau ikut bersama kami ?” tawar Amy kepada gadis yang bertanya tadi, Jennie.

                “Tentu” sahut Joe seraya bergabung dengan Amy dan teman-temannya. Begitupun Jennie, Elly dan Joshua.

                Walaupun sering bersama, Amy dan sahabat-sahabatnya tetap bersifat terbuka terhadap murid lain. Itulah yang menyebabkan mereka tak mendapat kebencian walaupun kadang terlihat seperti sebuah geng. Setibanya mereka di depan cafetaria, terlihat beberapa junior menyingkir memberi jalan kepada mereka –karena jumlah anggota mereka yang banyak dan semakin banyak karena bergabungnya Jennie dan teman-temannya. Joshua yang paling depan merasa agak tidak enak terhadap para juniornya.

                “Jangan segan. Kami hanya akan memesan beberapa makanan dan minuman lalu pergi” ujar Joshua seraya tersenyum dan melambaikan tangannya kepada para juniornya.

                “Don’t flirting, Josh” sentak Elly seraya meninju bahu Joshua dengan keras.

                “Ah, itu sakit, El !” Joshua meringis seraya mengusap-usap bahunya dengan ekspresi berlebihan.

                “Berlebihan sekali” desis Kris lalu berjalan melewati Joshua yang masih meringis kesakitan akibat tinjuan Elly tadi.

                “H-hey ! Tunggu aku !” teriak Joshua begitu menyadari bahwa anak-anak yang lain telah berjalan melewatinya ketika ia terlalu sibuk dengan bahunya yang sakit. Ia pun segera mengejar gerombolan anak-anak itu.

                Kini mereka semua telah memesan makanan dan duduk di sebuah meja panjang dengan tujuh kursi di kedua sisinya, kecuali Joshua dan Alice. Mereka berdua masih megantri untuk memesan makanan.

                “Biar aku yang bayar” ucap Joshua seraya menahan lengan Alice yang hendak membayar pesanannya. Ia langsung mengambil dompetnya lalu membayar sebelum Alice sempat membuka mulutnya untuk menolaknya.

                “Ayo, Lice. Teman yang lain sudah menunggu. Kau juga menghambat antrian” tegur Joshua pada Alice yang masih terdiam atas perlakuan Joshua. Alice langsung tersadar dan menyusul Joshua yang sudah berada agak jauh di depannya

                “Apa maumu sekarang ?” cecar Alice sambil menaruh mangkuk supnya dan duduk dihadapan Joshua.

                “Apa maksudmu ? Aku bahkan baru tiba disini” balas Joshua heran.

                “Kau mentraktirku pasti ada maunya ‘kan ?” tanya Alice penuh selidik.

                Joshua memamerkan cengirannya. “Kau memang yang paling mengerti aku, Lice. Baiklah, sebenarnya aku ingin minta diajari Matematika. Ada beberapa materi yang tak aku mengerti” kata Joshua jujur.

                “Kalau begitu datang saja ke taman belakang sehabis makan, aku dan anak-anak lain belajar disana” jawab Alice lalu menyuapkan sesendok sup ke dalam mulutnya.

                “Eh ? Benarkah ? Kalau begitu, aku juga mau ikut. Boleh ‘kan ?” tanya Joe antusias.

                “Tentu” jawab Alice seraya tersenyum lebar.

***

                Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Ujian akhir telah mereka lalui, tetapi hasil ujian akhir masih belum keluar. Kini Amy, Jane, Shannon dan Irene tengah berkumpul di sebuah coffee shop. Mereka tengah menunggu Alice yang masih belum nampak batang hidungnya.

“Maaf aku terlambat. Tadi sepatuku hilang” ujar seorang gadis dengan nafas terengah-engah yang baru saja menghampiri mereka. Keringat mengaliri pelipisnya. Mungkin sebelumnya gadis itu berlari menuju coffee shop ini. Alice mendudukkan dirinya di kursi yang masih kosong sambil mengatur nafasnya.

“Bagaimana bisa ?” tanya Irene tak percaya. Alice jarang sekali kehilangan barang-barang. Terlebih lagi benda yang hilang kali ini adalah sepatu.

“Entahlah” ujar Alice acuh lalu mengambil botol air dingin milik Shannon dan meminumnya.

“Tapi sekarang sudah ketemu ‘kan ?” tanya Shannon memastikan.

Alice memutar bola matanya sembari meletakkan botol minuman Shannon. “Jika masih hilang, apa yang kupakai di kakiku ini ?” ujar Alice kesal seraya menunjuk bagian bawah kakinya yang memperlihatkan bahwa ia tengah mengenakan sneakers birunya.

“Sudah-sudah. Cukup masalah sepatu. Jadi, kita disini untuk membicarakan tentang Amy” tukas Jane cepat. Semua mata kini tertuju pada Amy.

“Ada apa ?” tanya Irene.

“Aku... tak diperbolehkan melanjutkan sekolah oleh ibuku” lirih Amy.

“A-apa ?! Kenapa ?!” tanya Alice dengan nada terkejut.

“Kemarin sore ada surat cinta yang sampai di rumahku. Dan sialnya ibuku yang menerimanya. Ibuku marah dan melarangku sekolah. Ia salah paham berfikir aku berpacaran bukannya belajar di sekolah. Padahal aku sama sekali tak mengenal Rome, si pengirim surat. Aku... tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang” lirihnya.

“Ja-jadi ?” kini Shannon yang angkat bicara dengan nada bergetar.

Amy menghela nafas panjang. “Entahlah. Aku tak tahu. Ibuku masih mendiamkanku sampai pagi ini” ucapnya lirih seraya menatap langit-langit.

“Sial ! Kalau sampai kutemukan seseorang bernama Rome itu, akan kuhabisi dia !” geram Alice dengan tangan terkepal. Sangat jelas terlihat ia sedang menahan amarah.

Amy terlihat mengambil sesuatu di tasnya. Sebuah surat. “Ini suratnya kalau kalian mau membaca” ujarnya seraya menyodorkan surat itu kehadapan Alice, Irene dan Shannon. Mereka bertiga pun berebut untuk membaca surat itu.

Irene dan Shannon seketika memeluk Amy begitu membaca sepintas isi surat tersebut. Sedangkan Alice masih terdiam menatap surat itu.

‘Eh ? Bukannya ini ini logo sekolah elit itu ? Sekolah yang diimpikan Amy ? Apa Amy salah membawa surat ?’ pikir Alice seraya membolak-balik surat tersebut. Ia masih belum menemukan apa yang membuat kedua sahabatnya langsung memeluk Amy. Sedetik kemudian ia menyadari sesuatu.

“Astaga ! Jadi kau mengerjai kami ?!” seru Alice dengan mata berkaca-kaca. Bukan sedih, melainkan haru karena sahabatnya, Amy berhasil mendapatkan beasiswa dari sekolah impiannya. Beberapa bulan lalu, Amy memang mengikuti program beasiswa di sekolah elit itu. Surat yang dibawanya kali ini adalah surat pernyataan bahwa Amy lolos tes dan berhasil diterima disana.

“Aku bangga padamu, Amy” lirih Alice seraya memeluk Amy.

Amy menepuk punggung Alice. “Maaf aku membohongimu. Aku tak mau hanya aku yang dikerjai oleh ibuku, jadi kupikir aku bisa mengerjai kalian dengan bekerja sama dengan Jane” ujarnya seraya terkekeh.

Amy melepaskan pelukannya lalu menghapus air mata Alice. Ia kemudian menatap sahabat-sahabatnya. “Baiklah, untuk merayakan ini. Aku akan mentraktir kalian cheesecake. Setuju ?” tawar Amy dengan senyum lebar.

“SETUJU !!!” seru  keempat sahabatnya. Mereka lalu tertawa bersama, terlalu bahagia atas yang terjadi hari ini.

***

Waktu berlalu. Mereka semua kini telah berhasil mencapai sekolah impiannya masing-masing. Namun, itu sama sekali tak mengurangi intensitas persahabatan mereka.

Memang benar, ikatan persahabatan mereka sangat kuat. Tetapi jika ada yang berfikir mereka tak pernah bertengkar –disamping pertengkaran kecil seperti yang terjadi ketika Shannon berteriak, itu salah besar. Pernah sekali Alice dan Jane saling diam tanpa menyapa satu sama lain selama beberapa minggu. Mereka berdua memang sama-sama keras kepala. Namun entah bagaimana awalnya, mereka tiba-tiba  berbaikan ketika bahkan tak ada satupun dari mereka yang mengucapkan kata ‘maaf’. Berbeda dengan Amy yang mudah sekali mengucap maaf, Alice dan Jane takkan meminta maaf jika mereka tak merasa bersalah. Namun begitulah, jika memang ditakdirkan untuk bersama, mereka akan tetap mampu menemukan jalan mereka untuk kembali bersatu saat mereka terpisah.

“Ah, aku rindu masa-masa kita dulu bersama” kata Jason lalu memasukkan sekeping potato chips ke dalam mulutnya.

Alice, Irene, Shannon, Jane, Kevin, Jason, Mark, Joe, Elly dan Eric kini tengah berkumpul di sebuah kedai di depan sekolah mereka. Entah kebetulan atau kesengajaan, mereka masuk di sekolah yang sama, dan lagi-lagi mereka harus mencari meja panjang untuk berkumpul.

“Aku rindu ocehan Joshua yang sama sekali tidak penting itu” Alice berucap dengan pandangan menerawang.

“Aku merindukan Amy dan Kris” ucap Jane seraya mengaduk-aduk strawberry smoothienya.

“Kalau Amy, kita masih bisa datang ke rumahnya. Kalau Kris... ah ! mengapa ia harus sekolah di luar kota, sih ?” gerutu Shannon lalu memotong cheesecakenya kasar.

“Hey ! Kris sekolah di luar kota ‘kan untuk kebaikannya juga” sentak Jane.

“Sudah sudah. Kalian tak lelah selalu beradu argumen ?” lerai Elly. “Lice, kau tak berusaha menghentikan mereka ?” kini Elly menoleh Alice yang kini tengah menyeruput sodanya.

“Hm ?” Alice menatap Elly lalu meletakkan sodanya di meja. “Untuk tingkatan ini masih tidak perlu, mereka akan berbaikan beberapa saat lagi. Benar ‘kan ?” kata Alice sambil menyikut lengan Irene.

“Yap. Tunggu saja” kata Irene.

“Aku ada ide !” seru Eric tiba-tiba. Semua pasang mata –termasuk pengunjung kedai lain menatap Eric. Menyadari tatapan terganggu dari pengunjung lain, Alice berdiri lalu membungkukkan badannya memohon maaf atas perlakuan temannya itu.

“Ada apa ?” tanya Mark.

“Besok hari Minggu ‘kan ? Begini, kita ajak anak-anak yang lainnya bertemu. Aku baru ingat Kris berencana pulang kemari, sore ini dia sampai. Bagaimana ?” tanya Eric meminta pendapat teman-temannya.

“Boleh juga. Dimana kita akan bertemu ?” tanya Joe meminta pendapat yang lain.

Cony Cone ! Es krim disana benar-benar lezat, aku pernah mencobanya ! Setelah itu, kita pergi ke Amusement Park, lalu ke Giant Mall, dan berakhir di sekolah lama kita” ujar Shannon berapi-api.

“Usulmu bagus juga.  Yah, hitung-hitung mengenang masa lalu” ujar Jason lalu terkekeh.

“Baiklah. Aku akan kabari Amy, Jennie dan Ray” kata Alice lalu mengeluarkan ponsel dari saku jeansnya.

“Yeah ! Akhirnya kita semua bisa berkumpul lagi. Aku akan kabari Joshua dan Kris” Eric juga mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetikkan kata-kata untuk dikirimkan ke Joshua dan tentunya Kris.

***

Hari yang ditunggu pun tiba. Lima-belas remaja itu menghabiskan waktu mereka dengan penuh kebahagiaan. Terlebih lagi Ray mentraktir mereka ketika di Cony Cone karena hari itu adalah hari ulang tahunnya. Mereka semua melepas kerinduan hari itu juga. Memang, kemajuan zaman membuat mereka tetap bisa berkomunikasi walau dari jarak jauh. Namun, tak ada yang lebih berkesan dibandingkan bertemu langsung.

Sore itu mereka duduk di tepi lapangan voli sekolah lama mereka. Gerbang sekolah memang tak ditutup karena beberapa ekstrakulikuler seperti basket, futsal dan tari sedang dilaksanakan hari itu.

“Hari ini benar-benar luar biasa” kata Ray dengan senyum masih terukir di wajahnya.

“Kau benar. Terlebih lagi aku bisa menghemat pengeluaranku” sahut Jason.

Ray meninju lengan Jason pelan “Dasar kau ini”

“Ayo berjuang !” teriak Shannon tiba-tiba. Entah sejak kapan ia telah berdiri di tengah lapangan seraya mengepalkan tangannya ke udara.

“Shan, sedang apa kau disana ?!” teriak Jenny pada Shannon.

“Kalian kemarilah !” bukannya menjawab Shannon justru menyuruh semua teman-temannya menuju lapangan. Teman-temannya pun hanya menurut. Mereka tahu benar, jika sudah seperti ini, tak ada yang bisa menghentikan Shannon. Jikalau ada yang mau menolak, Shannon pasti akan mengoceh panjang lebar karena merasa tidak diperdulikan. Dalam sekejap mereka semua sudah ada di depan Shannon.

“Jadi begini, tahun lalu kita berjuang keras untuk bisa lulus dengan hasil yang memuaskan agar bisa masuk sekolah favorit. Tahun ini, kita harus berjuang lebih keras agar bisa mencapai perguruan tinggi impian kita. Setuju ?” cerocos Shannon dengan gaya khasnya, bersemangat.

“Hanya itu ? Kalau itu tak perlu kau beritahu. Sudah pasti kita lakukan. Iya kan ?” tanya Alice yang disambut oleh anggukan teman-temannya.

“Bagus kalau begitu. Ayo kita berjuang !” seru Shannon seraya mengepalkan tangannya ke udara lagi.

“AYOOOOO !!!!” teriak yang lainnya mengikuti gaya Shannon.

Setelah itu hening sejenak. Tatapan para anggota ekstrakulikuler basket kini mengarah pada mereka. Menyadari itu, mereka serentak menurunkan tangan mereka, malu. Namun hening itu tak bertahan lama, sedetik kemudian tawa mereka pecah menertawakan tingkah yang baru mereka perbuat.







“Ketika beberapa orang yang memang ditakdirkan bersama suatu hari terpisah, suka-tak-suka mereka akan tetap mampu menemukan jalan mereka kembali entah bagaimana caranya”

-Hafizhah Salsabila-