Pijul balik dengan sebuah cuplikan FF. Sebenarnya ini cuman cerita tentang mimpiku semalam sih. Mimpi yang aneh dan penuh arti. Mimpi yang seolah mengisyaratkan bahwa aku dan 'dia' lebih baik berteman. Buat yang penasaran, apa yang sebenarnya terjadi tentang aku sama 'dia' selama ini, tunggu aja ya. Kapan-kapan aku post deh~ ^^
Untuk kali ini, aku mau share mimpiku dulu~
Cek dis aut
*************************
Pagi itu, mentari memancarkan sinarnya. Membagi kehangatan untuk penghuni bumi yang ada. Angin lembut menyapa segala sesuatu yang dilaluinya. Awan seputih kapas menggantung indah menghiasi birunya langit diatas sana. Kicau burung begitu merdu menyapa gendang telinga.
Keindahan alam pagi itu seolah tengah menyanyikan lagu untuk penyambutanku dan kawan-kawanku yang baru saja tiba di gazebo kantin sekolahku. Entah sejak kapan, canda tawa telah keluar dari bibir kami. Yang jelas, suasana di sana menjadi semakin ramai semenjak kedatangan kami. Sudah menjadi rutinitas, setiap bertemu, kami selalu melontarkan candaan dan kemudian tertawa bahagia berusaha melupakan sejenak setiap kepenatan yang hinggap di fikiran kami.
Tawaku terhenti ketika suara cempreng milik laki-laki imut dihadapanku terdengar memanggil seseorang. Aku menolehkan kepalaku mengikuti arah pandang temanku itu. Aku terkesiap begitu mengetahui bahwa yang dipanggilnya barusan adalah seorang siswa laki-laki yang baru saja lewat dengan bola basket di tangannya. Oh, sial ! Apa-apaan ini ? Jantungku kembali berdetak tak normal.
Anak itu lalu tersenyum dan mendekat ke arah kami. Teman-temanku beberapa bergeser memberi tempat untuk anak laki-laki itu. Sangat jelas, anak laki-laki ini dsambut dengan baik oleh teman-temanku. Sedangkan aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Berpura-pura akrab kah, atau diam saja ? Begitu anak laki-laki ini bergabung, suasana menjadi semakin ramai dan menyenangkan. Yah, setidaknya bagi teman-temanku.
Lelah tertawa, mereka semua terdiam. Aku yang sedari tadi mencuri pandang ke laki-laki berparas fotogenik ini mematung sesaat ketika ia balik menatapku tajam. Oh tidak, aku ketahuan ! Aku segera membuang pandanganku ke arah lain berpura-pura tak tahu. Namun dari ekor mataku, aku bisa melihat ia yang tetap menatapku seolah mengatakan ‘apa yang kau lihat tadi ?’. Akupun berusaha menghentikan tatapannya yang mengintimidasi itu.
“Ada apa ?” ucapku berusaha senormal mungkin.
“Ikut aku” ujarnya lalu berjalan mendahuluiku.
Aku menatapnya heran lalu berbalik menghadap teman-temanku.
“Aku pergi dulu” ucapku lalu mengambil langkah seribu untuk menyusulnya yang sudah berada jauh di depanku.
Dari belakang aku mendengar tawa cekikikan yang kuyakini dari teman-temanku. Ah, sial ! Kenapa juga dia harus bersikap seperti itu di hadapan teman-temanku ? Membuatku malu saja.
Aku terus mengikutinya yang kini tengah berjalan menuju belakang sekolah. Ia berhenti lalu berbalik menatapku yang berada 50 cm dihadapannya. Aku memandangnya heran. Sedangkan ia menatapku dengan tatapan yang... entahlah, aku tak tahu itu.
“Jangan melakukannya lagi” ketusnya.
Apa ? Apa maksudnya ?
Aku menatap wajahnya menuntut penjelasan.
“Apa maksudmu ?” ucapku seraya mengerutkan dahi.
“Berhenti melakukan hal itu. Itu membuatku tak nyaman” ucapannya makin membuat otakku bekerja keras untuk memahami maksud perkataannya.
“Berhenti mengatakan hal yang tak kumengerti. Langsung ke intinya saja” cecarku tak sabar.
“Berhenti mengharapkanku” ucapan ketusnya sukses membuatku membeku.
“A...apa ?” ujarku gugup.
“Kau tahu ? Ini benar-benar terasa canggung. Tidakkah kau menyadari bahwa hubungan kita terasa benar-benar menyedihkan sekarang ?” ucapnya tajam.
Aku menatap dalam manik matanya. Sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini.
“Kita pernah berteman baik. Sangat baik. Hingga akhirnya sekarang semuanya hancur” lanjutnya.
Aku tak bisa berkata-kata. Sudah kuterka, suatu saat ia pasti akan mengungkit masalah ini. Aku pun memilih diam tanpa kata dan mendengarkannya hingga selesai. Aku tak ingin suasana hatinya semakin memburuk karena aku menyela perkataannya.
“Jangan seperti ini. Jangan buat aku membencimu hanya karena kau menyukaiku. Tak bisakah kau berpura-pura menyukai orang lain dan membiarkanku ada sebagai temanmu ?” ujarnya penuh penekanan.
Jantungku serasa dihujam ribuan jarum. Sakit. Tidak, bukan karena permintaannya yang menyuruhku berpaling darinya. Namun karena melihatnya tatapan matanya. Disana nampak kekecewaan dan kesakitan. Begitupun nada suaranya kali ini, terdengar begitu menyayat hati. Hatiku lebih tepatnya. Aku benci melihatnya seperti ini. Melihatnya tersakiti, membuatku merasa jauh lebih sakit.
Aku menundukkan wajahku penuh penyesalan.
“M...maaf...” lirihku.
“Kau-” geramnya tertahan.
“Dengarkan aku dulu !” potongku penuh emosi.
Aku menatapnya dengan air mata yang menyeruak keluar. Sedangkan ia terdiam dihadapanku sembari mengatur nafasnya yang tak beraturan karena terbakar emosi.
“Ini diluar kendaliku ! Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi ! Aku tak tahu bagaimana kejadiannya hingga seantero sekolah tahu bahwa aku menyukaimu !” teriakku.
Ia masih terdiam.
“Apa salah jika aku menyukaimu ?! Salahkah aku ?!”
Perlahan pipiku basah oleh air mataku.
“Kau pikir aku suka dengan situasi ini ? begitu ? Tidak! Aku sama sekali tak suka situasi ini !” bentakku.
Aku terdiam sesaat mencoba mengatur emosiku. Aku tak ingin emosiku semakin meledak dan menyebabkan hal bodoh yang tak diinginkan. Aku tertunduk pilu dan membiarkan tetes demui tetes air mataku jatuh.
“B-bukan hanya k-kau yang merasa tak nyaman. Ak-akupun beg-itu. K-kumohon... j-ja-jangan membenciku. A-aku masih ingin ada di k-kehidupanmu” pintaku sesegukan sambil sesekali mengusap pipiku yang basah karena air mata.
Ya, bahkan jika ia memintaku berpura-pura menyukai orang lain. Aku sama sekali tak keberatan atas itu. Selama aku masih bisa di sisinya, dengan senang hati akan kugunakan topeng itu.
Ia menghela nafas panjang.
“Ada lagi yang ingin kau katakan ?” ucapnya dingin.
“Aku minta maaf. Kumohon maafkan aku” pintaku.
“Untuk ?” tanyanya.
“Untuk semuanya. Untuk semua kekacauan yang telah kulakukan. Untuk semua ketidaknyamanan yang kuciptakan. Untuk semua kekesalan atas obsesiku padamu. Untuk semua kecanggungan yang kubuat. Aku minta maaf. Kumohon maafkan aku” kutatap wajahnya dengan mata yang masih berkaca-kaca.
Ia mengulurkan tangannya padaku. Aku menatap tangannya heran lalu menatap wajahnya dengan penasaran. Seolah mengerti maksud tatapanku, ia langsung menanggapinya tanpa aku sempat bertanya.
“Mari kita mulai semuanya dari awal. Mari kita anggap bahwa kita adalah sahabat. Bukan dua orang yang salah satunya mengalami one-sided-love” ucapnya lalu tersenyum tipis.
Aku menyambut uluran tangannya dengan agak ragu
“Jangan menangis lagi karenaku. Aku benci melihat sahabatku menangis. Itu membuatku merasa bersalah, bahkan walaupun jika bukan aku yang membuatnya menangis” ucapnya dengan nada yang lebih hangat.
Aku tersenyum kikuk.
“Aku juga benci melhat sahabatku merasa bersalah karenaku” aku menatapnya berusaha mengungkapkan bahwa aku tak apa-apa.
“Ayo kembali. Sebelum teman-temanmu itu curiga dan membuat spekulasi yang aneh-aneh” candanya lalu menarik pergelangan tanganku agar berjalan disampingnya.
Aku yang merasa agak canggung, berjalan agak cepat agar bisa mendahuluinya. Namun ia kembali menyusulku dan berjalan di sampingku.
“Hey, kau kenapa ? Seorang teman yang baik takkan meninggalkan temannya” ujarnya dengan nada manja yang dibuat-buat.
Aku tertawa.
“Baiklah, te-man-ku. Aku takkan mendahuluimu” ucapku dengan nada bercanda.
Teman ?
Itu bukan hal yang buruk kurasa. Ya. Karena mulai hari ini, aku dan dia kembali berteman. Tanpa kecanggungan, tanpa ketidaknyamanan, tanpa keterdiaman.
Tak apa. Aku tak apa-apa bahkan jika hanya menjadi temannya. Setidaknya menjadi temannya lebih baik ketimbang bertingkah seolah kami tak saling mengenali.
Dan hari ini, aku akan kembali menjadi diriku yang dulu. Aku yang menjadi teman baiknya. Aku yang selalu men-supportnya. Aku yang selalu tersenyum karena candaannya. Aku yang memanggilnya dengan sebutan spesial.
Tak masalah. Selama itu membuatnya nyaman, aku tak merasa keberatan.
Biarlah aku pendam rasa ini. Agar ia tak merasa terbebani. Daripada ia yang harus merasa tak nyaman karena sikapku ini, lebih baik jika perasaan bodoh ini hanya menyakiti diriku sendiri. Itu akan lebih baik ketimbang ia merasa terusik karena kasak-kusuk orang lain tentang perasaanku padanya yang tak biasa ini.
Asal tahu saja, aku selalu mengharapkan yang terbaik untuknya. Walaupun yang terbaik itu bukan aku.
END
*************************
Oke, itu bukan murni mimpiku. Karena aku gak begitu ingat sama mimpiku. Jadi aku mengembangkan sendiri mimpiku itu.
Wkwkwk, yang murni mimpiku itu kata-kata yang dipucapkan sama si 'dia' mulai dari “Berhenti melakukan hal itu. Itu membuatku tak nyaman” sampai “Untuk ?”.
Sisanya ? Itu cuma mengandalkan ingatanku yang payah tentang mimpi itu dan imajinasi yang pas-pasan ini.
To be honest, di mimpiku aku gak ngucapin apa-apa selain "Maaf". Sisanya aku diam dan nangis. Oh, god! Di dunia nyata, aku belum pernah sekalipun nangis karena anak itu. Tapi di dunia mimpi kok.....
Ah, sudahlah. Sampai jumpa lain waktu '-')/
Bye~ ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar